"Keunggulan Manusia diukur dari Sumbangsih Pemikirannya"

Kamis, 12 Agustus 2010

Bawalaksana I


Satu lagi pembelajaran adiluhung dari filsafat Jawa yang akan saya bicarakan adalah bawalaksana yang mungkin lebih dikenal melalui sesanti sabdha pandita ratu tan kena wola wali ,suatu kata yang luhur yang jika dijalankan oleh para pemimpin Negara atau pemimpin apa saja , akan menjadikan dirinya dihormati dan disayang oleh rakyatnya .
Arti sebenarnya bawalaksana adalah satunya kata dengan perbuatan, untuk menjalankan konsep njawani ini tidaklah mudah, karena orang yang menjalankan konsep hidup ini maka dia betul betul sudah mencapai derajat tinggi dalam ilmu kamanungsan /ilmu kemanusiaan.
Sebagai manusia biasa seperti saya ini jauh untuk bisa melaksanakan konsep bawalaksana ini, marilah kita buka pembicaraan ini dengan niat untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi , yang senantiasa melaksanakan konsep undur kaifa yaitu konsep untuk senantiasa membuka diri tentang kekurangan dan kelebihan dirinya untuk kebaikan, orang yang tahu diri jika ingin melakukan suatu tindakan haruslah dipikir dengan seksama/ tidak ceroboh.
Dalam mengukur etika Jawa dari peristiwa peristiwa dalam dunia pewayangan baik yang bersumber dari Ramayana maupun dari Mahabharata yang telah dijabarkan dengan baik dan tersimpan dengan baik pula dalam dunia pewayangan . Dunia pewayangan Jawa telah dapat mencerna dengan baik semua kebenaran yang datang dari manapun , di dunia ini tidak ada yang sempurna baik dan tak ada yang mutlak buruk. Dan apabila etika wayang merupakan jabaran obyektif dari etika Jawa , maka berarti daya ramu dunia pewayangan haruslah mampu mempertemukan segala isi kebenaran, dari manapun datangnya dan ini telah dibuktikan . Dunia pawayangan telah menghasilkan dan menyimpan dengan baik satu nilai filsafat yang disebut Bawalaksana , yang dulu dijunjung tinggi oleh masyarakat yang merumuskannya, yakni masyarakat Jawa masa lalu , namun sekarang masyarakat jawa masa kini agaknya tidak terlalu menghargainya lagi , meskipun pada dasarnya juga tidak menolaknya ( Ir. Sujamto" Sabda Pandhito Ratu")
Pada Kesempatan ini kita akan membahas tentang konsep bawalaksana dalam pewayangan purwa ( ramayana dan mahabharata), yaitu peristiwa peristiwa yang menggambarkan betapa berat dan besarnya konsekwensi dari suatu janji yang telah diucapkan yang sering kali harus ditebus dengan pengorbanan yang tiada taranya. Kasus yang akan kita tampilkan adalah konsekwensi pemenuhan janji atau ikrar , bahkan ada kalanya hanya berupa kata kata biasa yang tidak bersifat janji atau pun ikrar ) yang pernah diucapkan.
Kisah diusirnya Sri Rama dari kerajaan Ayodya menjelang saat saat penobantannya sebagai raja menggantikan ayahnya ( Parbu Dasarata), adalah akibat etika bawalaksana yang harus dijunjung tinggi oleh prabu Dasarata sebagai seorang raja yang baik.Tak seorangpun meragukan ketepatan dan kearifan prabu dasarata yang berniat menunjuk Sri Rama menggantikan dirinya sebagai raja Ayodya. Ditinjau dari segala segi , keputusan itu adalah yang paling baik .Sri Rama bukan saja sebagai anak tertua diantara kempat anak Prabu Dasarata ( Rama, Bharata, Laksmana dan Satugna) , tetapi ia juga yang paling pandai , paling bijaksana dan paling banyak pengalaman serta lahir dari istri pertama Prabu Dasarata yakni Dewi Ragu atau dewi Sukasalya, ia bahkan diyakini sebagai Avatara Wisnu ( dalam pewayangan Jawa disebut titising Bhatara Wisnu) . Akan tetapi pada malam hari menjelang hari penobatan Rama ,tiba tiba Prabu Dasarata diingatkan oleh seorang istrinya , yakni Dewi Kekeyi ( Ibu Bharata), bahwa prabu Dasarata pernah berjanji kepadanya bahwa anak Dewi Kekeyilah yang kelak akan diangkat menjadi raja menggantikan dirinya.
Dengan hati yang hancur luluh , malam itu juga beliau panggil Sri Rama untuk memberitahukan masalah ini. dan sebagai anak yang berbakti kepada orang tua . Sri Rama dengan tulus ihklas menyarankan kepada ayahnya untuk memenuhi janji itu. Adalah aib besar bagi seorang raja mengingkari janjinya yang pernah diucapkan . Biarlah Bharata yang menggantikan ayahnya sebagai raja Ayodya dan Rama juga tulus ihklas memenuhi permintaan Dewi Kekeyi untuk meninggalkan kerajaan Ayodya dan hidup di hutan selama 14 tahun lamanya.
Demikian dengan hati yang amat pilu , Prabu Dasarata terpaksa membuat keputusan yang tidak sesuai dengan norma norma keadilan dan kebenaran dan merelakan anaknya yang sangat disayanginya untuk hidup dalam penderitaan di hutan Dandaka ditemani sang istri Dewi Sinta ,Laksmana , adik dari lain ibu) semuanya itu terpaksa dilakukan karena seorang raja yang baik harus bawalaksana . Ia memang bisa mengingkari semua itu tanpa konsekwensi apapun kecuali satu yakni runtuhnya satu norma yang selalu harus dijunjung tinggi oleh seorang raja yaitu bawalaksana dan keruntuhan norma ini baginya hanyalah berakibat pencemaran nama, tapi bagi khalayak ramai dan bagi sejarah kerajaan Ayodya , keruntuhan itu sebenarnya memang suatu bencana besar.Bagaimana rakyat Ayodya dapat mengharapkan hari depan yang cerah jika dipimpin oleh seorang raja yang esuk dele sore tempe ( pagi kedelai sore tempe) artinya kata katanya tak dapat dipegang. Oleh karena itulah dengan hati yang hancur berkeping keping ( dan akhirnya segera wafat dalam penderitaan batin) , Prabu Dasarata konskwen memenuhi janjinya
Bukan hanya Prabu Dasarata , juga SriRama sendiri memberikan contoh yang baik tentang sifat dan sikap bawalaksana yang harus dijunjung tinggi oleh setiap manusia , terutama para pemimpin.Semoga menjadi bahan perenungan kita .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar