"Keunggulan Manusia diukur dari Sumbangsih Pemikirannya"

Sabtu, 20 Maret 2010

Perencanaan Pendidikan

Ada Yang menarik untuk dikaji tulisan ini ....
PROFIL BUKU YANG DIULAS
Buku yang diulas berjudul ‘Systematic Planning for Educational Change’. Buku ini disusun oleh W.G. Cunningham dan diterbitkan pada tahun 1982 oleh Mayfield Publishing Company, USA. Tidak seluruh bab pada buku ini diulas oleh pengulas, hanya bab 1 dan 2 saja (hal 3-26). Pokok bahasan pada bab 1 adalah mengenai proses perencanaan dan pokok bahasan pada bab 2 adalah tentang perencanaan strategis dan perencanaan operasional.

RINGKASAN BAB 1
Secara umum, pokok bahasan pada bab ini adalah mengenai proses perencanaan, yang dipaparkan menjadi beberapa sub bab, yaitu bahasan tentang definisi, manfaat, dan proses perencanaan itu sendiri. Diawali dengan paragraf yang mengemukakan bahwa definisi dari proses manajemen yang paling sering digunakan oleh publik adalah definisi yang diusung oleh Henri Fayol (hal 3), penulis buku ini mencoba untuk memberikan pemahaman pada pembaca bukunya bahwa ‘perencanaan’ adalah pondasi dari proses manajemen (planning, organizing, commanding, coordinating, dan controlling). Dan tanpa tujuan yang terarah dan pembatasan melalui kebijakan-kebijakan mengenai perilaku organisasi, maka seorang administrator tidak akan memiliki petunjuk yang pasti dalam menetapkan kebijakan-kebijakan organisasi. Implikasinya, organisasi tersebut akan berjalan dengan penuh ketidakpastian. Dalam hal ini, ‘perencanaan’ dipandang berperan sebagai petunjuk-petunjuk yang pasti diatas semua ketidakpastian yang mungkin ditemui oleh seorang administrator dalam sebuah organisasi. Perencanaan adalah sebuah mekanisme dimana sebuah sistem dapat beradaptasi dan mengimplementasikan perubahan. Senada dengan apa yang disampaikan oleh Knezevich (hal 4) bahwa organisasi menghadapi suatu lingkungan yang dinamis, kebutuhan untuk mengidentifikasi dan mendefinisikan perkembangan peran organisasi, serta kebutuhan untuk menghubungkan organisasi dengan sistem lingkungan yang beragam sehingga membuat fungsi perencanaan menjadi kritis, yaitu sebagai prioritas yang harus diutamakan.
D e f i n i s i P e r e n c a n a a n
Perencanaan sendiri bertujuan untuk menjadi jembatan antara teori dengan praktek, dan digunakan untuk mengontrol masa depan melalui apa-apa yang dilakukan pada masa ini. Melalui perencanaan tersebut, seorang administrator juga dapat mengantisipasi kejadian-kejadian yang tidak diinginkan, dan membuat periodisasi aksi dalam meraih tujuan organisasi. Sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh Henri Fayol, Luther Gulick, dan Edward Banfield, maka perencanaan dapat didefinisikan sebagai (hal 5) sebuah proses dalam memilih dan menghubungkan antara teori dengan asumsi yang terkait dengan masa depan, dan bertujuan untuk melakukan visualisasi dan formulasi tentang keluaran yang ingin dicapai; perencanaan merupakan sebuah proses yang periodik dan dilakukan untuk mencapai hasil tertentu serta untuk membatasi perilaku-perilaku yang dapat dilakukan dalam proses pencapaian hasil tersebut.
M a n f a a t P e r e n c a n a a n
Perubahan adalah sesuatu yang pasti terjadi, entah prosesnya terjadi secara cepat, lambat, atau bahkan sepertinya sangat tidak mungkin terjadi sekalipun. Bagaimanapun juga, tidak ada sesuatu yang statis, dan perubahan tersebut selalu menjadi masalah bagi seorang administrator. Terlepas dari masalah yang dapat diprediksi maupun tidak dapat diprediksi oleh seorang administrator, perencanaan adalah alat yang akan sangat membantu untuk beradaptasi dengan beragam inovasi untuk menyelesaikan konflik, mengubah pendekatan lama, melakukan upgrading, melakukan improvisasi komunikasi, dan untuk meraih berbagai macam keluaran yang diharapkan (hal 5), senada dengan apa yang diungkapkan oleh Morphet, Jesser, dan Ludha (hal 6). Dan prosedur perencanaan yang tepat dapat menghasilkan identifikasi akan kesalahan-kesalahan penyesuaian yang telah dilakukan maupun kekurangan-kekurangan atau hal-hal lain yang mungkin menjadi penyebabnya.
Perencanaan, oleh WG Cunningham, dikaitkan dengan pengukuran hasil kinerja sebuah organisasi, yaitu sejauh mana hasil kinerja organisasi tersebut dapat memenuhi keinginan publik (hal 6). Tentunya proses perencanaan akan sangat menentukan hasil akhirnya, sehingga kemampuan seorang administrator dalam memodifikasi perencanaan karena terjadinya hal-hal yang tidak terduga, sangatlah penting. Tetapi, bagaimanapun juga, perencanaan yang kurang tepat masih lebih baik daripada tidak ada perencanaan sama sekali, karena rencana yang kurang tepat tersebut masih dapat diperbaiki tentunya.
Ada dua model perencanaan yang disebut-sebut sebagai perencanaan reaktif dan perencanaan proaktif (hal 6-7). Perencanaan reaktif, sesuai dengan definisinya secara linguistik, terjadi bila ditemui masalah dalam selama perjalanan organisasi. Sementara perencanaan proaktif adalah perencanaan yang dilakukan untuk mengantisipasi masalah. Kedua-duanya menuai kritik sehingga akan jauh lebih baik bila dalam penerapannya dapat dilakukan sinergi. Meskipun secara teori, tentunya perencanaan proaktif (walaupun menuntut inovasi dan kreatifitas yang tinggi) jauh lebih baik daripada perencanaan reaktif yang sifatnya hanya reaksioner.
Andreas Faludi menambahkan pernyataan bahwa perencanaan yang fungsinya sangat penting bagi pertumbuhan seorang individu, yaitu dalam menyediakan sebuah kesempatan untuk pengembangan dan pengaturan individu (hal 7). Secara umum, dapat ditarik sebuah kesimpulan sederhana bahwa perencanaan memiliki banyak sekali manfaat bagi seorang administrator sehingga lebih baik dilakukan jika tidak ingin kehilangan banyak kesempatan.
P r o s e s P e r e n c a n a a n
Perencanaan sendiri bukanlah merupakan sebuah proses yang terjadi secara otomatis. Dan telah cukup banyak model dikembangkan untuk mendapatkan sebuah perencanaan yang efektif. Ada beberapa paradigma yang harus dibangun terkait dengan proses perencanaan, salah satunya adalah seperti yang ditawarkan oleh Robinson (hal berikut ini: adanya tujuan yang jelas, ada formulasi alternatif-alternatif, ada prediksi mengenai hasil akhir, ada evaluasi dan seleksi terhadap pilihan-pilihan alternatif, dan yang terakhir tentunya: ada implementasi dari keseluruhan proses perencanaan tersebut. Larson (hal juga menambahkan bahwa antara teori dan praktek harus sesuai karena terkadang banyak administrator yang menjadi ‘pemimpi’ sebab dituntut untuk menyelesaikan sebuah perencanaan jangka panjang di atas kertas tetapi sangat jauh dari implementasi. Alasan yang sering digunakan biasanya seragam, semisal: ‘masih dalam proses implementasi’ atau ‘sumber daya manusia untuk mengimplementasikan rencana tersebut masih sangat terbatas’. Administrator-administrator ‘nakal’ tersebut yang sering membuat perencanaan menjadi proses yang tidak efektif. Sehingga, bagaimanapun bentuknya, perencanaan harus berorientasi aksi agar dapat direalisasikan dalam bentuk yang nyata.
Bushnell (hal 9) mengungkapkan bahwa untuk mencapai keberhasilan, inovasi tidak hanya harus dilakukan pada ‘apa yang harus diubah’ namun juga pada ‘bagaimana sebuah perubahan tersebut dilakukan’. Selain itu, ia juga menyebut-nyebut bahwa perencanaan yang berorientasi aksi sebagai sebuah pendekatan ‘baru’ yang dapat membangun proses perencanaan kedalam seluruh sistem manajemen. Model perencanaan yang digambarkan pada bagan 1.2 (hal 10) tersebut, mirip dengan teori yang pernah dinyatakan oleh Russell Ackoff (hal 9), yang berdasarkan pada 4 tahapan perencanaan sebagaimana berikut: akhir perencanaan yang merupakan proses penentuan hasil (1), alat perencanaan yang merupakan metode aksi (2), sumber daya perencanaan yang merupakan proses pemerolehan sumber daya yang diperlukan seperti bahan mentah, dana, dst (3), dan perencanaan organisasi atau proses pembentukan dan penyesuaian hubungan antar individu dan kelompok (4). Ackoff juga mengklasifikasikan hasil perencanaan sebagai konsentrasi strategis, sementara konsentrasi operasional atau taktis terdiri dari: alat, sumber daya, dan perencanaan organisasi. Proses perencanaan dalam buku ini berada dalam kisaran 8 pertanyaan sebagai berikut: (1) dimana kita berada? (2) kemana kita ingin pergi (meraih tujuan)? (3) sumber daya apa yang kita miliki untuk dapat meraih tujuan tersebut? (4) bagaimana cara kita mencapai tujuan kita? (5) kapan tujuan tersebut akan tercapai? (6) siapa saja yang akan bertanggung jawab? (7) apa saja implikasinya terhadap sumber daya yang ada? (8) data apa saja yang dibutuhkan untuk mengukur kemajuannya?
Penulis buku ini juga berpendapat bahwa bagaimanapun latar belakang dan setting perencanaan dalam tiap organisasi, proses perencanaannya secara umum dapat digeneralisasi dalam gambar tersebut. Dan jawaban dari kedelapan pertanyaan tersebut harus ditulis dalam format yang jelas agar dapat menjadi petunjuk pelaksanaan aktifitas organisasi.

RINGKASAN BAB 2
Pokok bahasan dalam bab ini terbagi dalam beberapa sub bab. Selain membahas mengenai perbedaan antara perencanaan strategis dengan perencanaan operasional sebagai pengantar, pokok bahasan lainnya adalah mengenai perencanaan bottom up versus perencanaan top down, sumber daya finansial, sumber daya manusia, komunikasi, dan kompetensi profesional serta hasil kinerja yang efektif.
Dua pokok bahasan utama dalam perencanaan sebagai sebuah tema besar dalam buku ini adalah perencanaan strategis dan perencanaan operasional. Perencanaan strategis dalam sebuah organisasi merupakan hal yang wajib sementara perencanaan operasional berfungsi sebagai piranti strategi yang bersifat praktis untuk memastikan bahwa organisasi berada dalam koridor yang benar.
Perencanaan strategis diartikan sebagai suatu proses penentuan tujuan organisasi baik dalam perubahannya maupun sumber daya yang digunakan untuk mencapai tujuan. Kebijakan organisasi sendiri berfungsi sebagai motor dalam meraih hasil, pendayagunaan, dan disposisi sumber penghasilan. Tujuan-tujuan strategis dianggap mengacu pada keberlangsungan sebuah organisasi, sumber masa depan yang potensial, fleksibel dan bisa beradaptasi dengan setiap perubahan zaman. Tujuan strategis dinilai sebagai tujuan masa depan yang berorientasi pada klien dan kebutuhan eksternal. Perencanaan strategis menentukan karakter dan tujuan organisasi berdasarkan sistem dan nilai.
Perencanaan operasional merupakan proses administrasi yang memastikan bahwa sumber-sumber yang diperoleh berjalan efektif dan effisien untuk menyempurnakan tujuan strategis. Perencanaan operasional harus dipusatkan pada sumber daya yang ada, masalah-masalah operasional dan stabilitas organisasi. Perencanaan operasional lebih mengacu pada tujuan yang bisa diukur dan bisa dipertanggung jawabkan. Tujuan operasional pada umumnya berhubungan dengan program, proyek, orientasi staf dan karyawan yang ditujukan pada kebutuhan kegiatan internal dan hasil akhir. Perencanaan operasional didesain untuk memperoleh hasil akhir yang diinginkan dengan efisiensi penggunaan sumber-sumber daya yang ada secara terorganisir dan tersosialisasikan dengan baik dan tidak menyimpang dari ranah kebijakan organisasi.
P e r e n c a n a a n B o t t o m U p v s P e r e n c a n a a n T o p D o w n
Agar proses perencanaan dapat berjalan dengan baik maka perencanaan strategis harus dikembangkan terlebih dahulu sebelum mengembangkan dan mengimplementasikan tujuan operasional. Tujuan operasional tidak seharusnya dikembangkan dengan meletakkan tujuan strategis sebagai sumber utama. Tujuan operasional dalam hal ini menggambarkan sempitnya keinginan dan spekulasi dan mengarah pada hilangnya kerjasama yang tidak konsisten. Pada akhirnya, administrator pada level atas terpaksa memperbaiki dan memadukannya dengan perencanaan operasional yang disebut sebagai perencanaan strtegis. Kecenderungan semacam ini menyebabkan administrator pada level atas memodifikasi dan menyempurnakan perencanaan operasional dari pada mengembangkan perencanaan strategis yang terkoordinir.
Sementara itu, manajer operasional lebih fokus terhadap penyempurnaan, modifikasi dan penggabungan perencanaan operasional yang akan menjadi benang merah untuk administrator pada level atas. Namun terkadang mereka membuat sebuah perencanaan yang kurang logis bagi organisasinya. Dan bila sebuah perencanaan berangkat dari level bawah menuju level atas, WG Cunningham beranggapan bahwa tidak akan pernah ada titik temu diantara keduanya karena tujuan strategis yang dibangun dari level bawah tentunya tidak akan pernah diakui oleh administrator pada level atas. Tidak akan terjadi atmosfir yang baik saat perencanaan operasional harus dimodifikasi untuk mengeliminir fragmentasi. Walaupun keterbatasan sumber daya juga akan mengambil peran untuk memodifikasi perencanaan tersebut. Oleh sebab itu, seluruh usaha perencanaan akhirnya menjadi dalih operasional bagi tiap individu yang kurang berkenan dengan proses perencanaan dan memandang administrator pada level atas begitu otokratif dan terlalu campur tangan.
Selain dapat menjadi penyebab dalam permasalahan antar indidvidu, model perencanaan bottom up dalam perencanaan strategis oleh WG Cunningham dianggap tidak efektif dengan modifikasi yang sulit diterapkan. Sebab tujuan utamanya adalah konsolidasi dan koordinasi individu yang mengetahui ketika perencanaan mereka diubah maka seluruh proses perencanaan dipandang secara skeptis. Dengan kata lain administrator pada level atas akan tidak dipercayai oleh personel yang berada pada level bawah. Kurangnya komitmen dalam proses perencanaan mengakibatkan pemetaan konflik dan tidak efektifnya sistem perencanaan. Hasil ini dianggap akan berdampak pada tidak adanya rasa saling percaya antara kedua kubu sehingga saling menyalahkan satu sama lain. Sebab itulah, dalam buku ini, WG Cunningham lebih banyak memberikan porsi bahasan pada perencanaan top down yang dianggap olehnya sebagai model perencanaan yang sangat ideal, praktis, dan dapat memastikan keberhasilan pencapaian tujuan organisasi.
Dalam gambar berikut dideskripsikan bahasan utama yang menjadi piranti dalam perencanaan operasional dan perencanaan strategis:
Strategic Planning
“Doing the right things”

Mission, Goals,
Change, & Development
Operational Planning
“Doing the things right”

Operation, Performance, & Result






S u m b e r D a y a F i n a n s i a l
Dalam membahas sumber daya finansial dalam sebuah lembaga pendidikan, sebagai contoh sekolah, ada tiga aspek yang menurut WG Cunningham perlu diperhatikan yaitu perencanaan strategis, perencanaan pengeluaran, dan perencanaan pendapatan. Perencanaan strategis terbentuk seiring dengan berlangsungnya proses administrasi dan harus jelas sebelum memulai proses penyusunan anggaran. Perencanaan pengeluaran dan pendapatan dalam proses perencanaan akan menyediakan input dalam perencanaan operasional. Namun ketika anggaran tidak dapat mendukung apa yang sudah disusun dalam perencanaan strategis maka hubungan antara keduanya tidak akan dapat berkembang dan bisa melemahkan proses perencanaan. Sementara anggaran berperan sebagai perpaduan harapan dari seluruh program yang telah direncanakan oleh sekolah. Sistem anggaran sekolah mengatur estimasi pendapatan dan pengeluaran sekolah yang yang cukup penting, sehingga harus memperhitungkan sumber-sumber yang sesuai agar mendapatkan keuntungan sistem yang maksimal.
Perencanaan strategis memuat bangunan sistem dalam sebuah sekolah dengan tujuan tertentu dimasa yang akan datang yaitu yang berkaitan dengan visi, target, tujuan strategis dan kebijakan. Perencanaan strategis mempersiapkan koordinasi dan tujuan operasional, tetapi hanya dalam proses penentuan anggaran pada saat awal dan akhir. Selama dalam proses ini anggaran akan sangat ditentukan oleh perencanaan strategis baik dari segi kualitas maupun kuantitas sedangkan perencanaan operasional lebih banyak ditentukan oleh keputusan yang diambil selama dalam proses perencanaan. Morphet, Jhon dan Ruller mengatakan suatu program pendidikan harus dipersiapkan dengan sejumlah estimasi dana tertentu sebagai antisipasi akan penggunaan dan yang berlebih dan hal tersebut seharusnya dipersiapkan sebelum menentukan jumlah biaya yang harus digunakan agar mendapatkan pencapaian hasil yang terbaik.
Perencanaan strategis dan penganggaran merupakan petunjuk sistem yang didasari oleh rencan operasional sedangkan usaha yang sia-sia dan staff yang kurang mampu bisa berkembang jika perencanaan operasional sesuai dengan sumber dayanya. Tentunya dengan komitmen serta adanya tujuan perencanaan strategis yang proporsional. Dalam buku ini dipaparkan sebuah kasus tentang Kepala SMP atau ketua dalam bidang pendidikan vokasi yang dihadapkan dengan supervisor yang memberikan tugas (bagaimanapun cara pengerjaannya) agar dalam sekolah yang mereka pimpin dapat mencapai target yang disepakati dalam jangka 5 tahun kedepan. Sementara itu, para pimpinan sekolah dan supervisor memiliki rancangan perencanaan mentah pada masing-masing program yang harus disepakati bersama. Namun setelah pimpinan sekolah mengadakan sekian banyak kegiatan ternyata apa-apa yang tercantum dalam perencanaan strategis tidak didanai selama 2 tahun. Padahal seluruh program yang dibangun oleh mereka sudah diinformasikan dan ditawarkan pada masyarakat. Maka ketika proyek tersebut tidak berjalan dan hanya membuang waktu maka kepercayaan pada proses perencanaan itu hilang. Dari salah satu kasus tersebut, dan tentunya masih banyak kasus lainnya, WG Cunningham berpendapat bahwa sumber daya finansial atau masalah penganggaran memiliki peran vital dalam perencanaan strategis, melebihi sumber daya lainnya.
WG Cunningham menambahkan bahwa tujuan strategis berkembang selama proses perencanaan strategis dan disempurnakan dalam proses penganggaran sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya bahwa ada perbedaan yang nyata antara tujuan strategis dan tujuan operasional dimana sebenarnya dalam proses ini ada ketidak jelasan garis antara dua proses yaitu masalah penganggaran. Proses penganggaran atau budgetting sendiri dianggap berada diantara kedua proses perencanaan dan menjadi batas dimana perencanaan strategis berakhir dan perencanaan operasional dimulai. George Odiorne juga berpendapat bahwa masalah waktu merupakan esensi dari tujuan dan harus diperhitungkan sebelumnya bukan sesuadah perencanaan anggaran. Lebih lanjut ia menambahkan bahwa pemerintah seharusnya melakukan dua perencanaan yang sinergis yaitu antara tujuan jangka panjang sebelum melakukan perencanaan anggaran dan tujuan jangka pendek sesudah penentuan anggaran. Intinya, WG Cunningham ingin menyampaikan pada pembaca buku ini bahwa model perencanaan top down lebih efektif, efisien, dengan memulai dari perencanaan strategis yang diikuti oleh penganggaran biaya dan perencanaan operasional.
S u m b e r D a y a M a n u s i a
Hal lain yang menurut WG Cunningham juga perlu diperhatikan dalam proses perencanaan adalah dampak perencanaan terkait dengan sikap karyawan, kepuasan kerja, iklim organisasi, dan kinerja individu. Perencanaan yang efektif harus mendahului strategi, finansial dan pertimbangan operasional. Permasalahan yang timbul bukan disebabkan karena kurangnya strategi, anggaran, atau dukungan operasional tetapi biasanya disebabkan karena kurangnya komitmen dari seluruh pelaku organisasi. Problematika perencanaan, secara spesifik berkembang selama proses implementasinya yang tentu saja disertai konflik individu dan kelompok yang mencuat ke permukaan. Sebab itulah, mekanisme kontrol yang tepat seperti pengawasan dianggap dapat mengurangi permasalahan dengan mudah meskipun efektifitasnya sangat terbatas, sebagaimana pendapat Argyris, Blake dan Mouton, Halprin, Hemphill, Coons, Lewin, Likert, dan McGregor. Dengan bahasa lain, hal tersebut membutuhkan konsumsi waktu dan biaya yang tidak murah untuk mengontrol perilaku seluruh pelaku organisasi. Tidak ada yang lebih penting dalam perencanaan kecuali orang-orang yang berkomitmen dan komitmen itu tidak membutuhkan pengawasan. Chris Argyris juga menyatakan bahwa organisasi kemanusiaan harusnya bersifat lebih manusiawi, karena ketika kemanusiaan itu diabaikan, konsekuensi yang terjadi adalah hilangnya fungsi dan tidak efisiennya suatu lembaga, dan proporsi itu tidak dapat mendesain sistem sosial yang memfasilitasi pertumbuhan manusia sebagai individu.
Kepribadian manusia tentunya meliputi seluruh komponen dan proses perencanaan memberikan kontribusi yang signifikan dalam memperbaiki kemampuan dan bakat individu sebagai sumber daya manusia. Perencanaan yang berhubungan dengan sumber daya manusia dianggap sangat berperan dalam totalitas proses perencanaan. Kualitas sebuah organisasi, proses pembentukan kualitasnya, operasionalisasinya, cara kerjanya, dan bagaimana para pelaku organisasi tersebut merasa ikut memiliki, merupakan hal-hal yang menjadi tanggung jawab manajer. Seorang manajer atau pemimpin harus paham cara memposisikan diri dan mengatur kebutuhan karyawan, sebagaimana pendapat Mills. Para pelaku organisasi harus menyadari akan adanya suatu waktu saat eksistensi struktur organisasi dan hubungan interpersonal menjadi bagian dari tujuan dan sumber daya finansial organisasi. Jika hubungan tersebut tidak diperhitungkan, maka akan mengakibatkan hilangnya komitmen. Oleh sebab itu, perencanaan harus berorientasi pada pembentukan komitmen dan hal itu tentunya membutuhkan fromalitas proses yang dibangun dalam proses perencanaan.
K o m u n i k a s i
Sebagaimana paradigma WG Cunningham yang menjadi bingkai dalam seluruh tulisannya, model perencanaan top down adalah model perencanaan yang paling efektif, sedangkan komunikasi dalam organisasi yang paling baik bersifat bukan satu arah tetapi dari segala arah dan dibarengi dengan follow up baik secara vertikal maupun horizontal. Rensis Likert menyebut fenomena ini sebagai mata rantai teori organisasi. Teori mata rantai ini menggambarkan organisasi yang terdiri dari sekumpulan individu yang mencakup anggota organisasi dan pimpinan organisasi. Dengan model komunikasi dari segala arah, tentunya seluruh struktur kelompok akan saling mendukung dan melengkapi. Sebagaimana, posisi ketua dan wakil dalam sebuah organisasi merupakan penentu bagi keberlangsungan organisasi tersebut, dimana jika mereka mengabaikan hak individu dan tidak ada komunikasi yang baik antara atasan dan bawahan maka perencanaan strategis yang meliputi ide, stimuli dan perencanaan operasional tidak akan berjalan dengan baik.
Perencanaan top down, menurut WG Cunningham, bukan berarti bahwa komunikasi yang dibangun hanya secara satu arah dan terpusat, melainkan yang ia maksud adalah kesuksesan perencanaan itu terjadi dari atasan ke bawahan. Komunikasi yang WG Cunningham maksud dalam perencanaan top down, adalah komunikasi yang melibatkan seluruh struktur kelompok yang ada dalam organisasi dan seluruh individu dapat menyampaikan pendapatnya. Walaupun keputusan tetap berada pada level atasan, tetapi seluruh individu dalam organisasi tersebut harus merasa dilibatkan dalam penentuan sebuah keputusan.
K o m p e t e n s i P r o f e s i o n a l d a n K i n e r j a Y a n g E f e k t i f
Sekali lagi ditekankan oleh WG Cunningham bahwa perencanaan adalah suatu proses yang sangat vital karena menjadi pondasi utama dalam konstruksi organisasi. Proses perencanaan sangatlah diperlukan dalam sebuah organisasi, bagaimanapun situasi organisasi tersebut, baik stabil maupun dalam keadaan yang sedang bergejolak sekalipun. Terlebih lagi, dalam era sekarang ini, WG Cunningham berpendapat bahwa para administrator dalam lembaga pendidikan harus memiliki sebuah sistem perencanaan yang teruji, yang merupakan integrasi dari teori dan tindakan-tindakan yang berorientasi. Dinamika dan interdependensi lembaga-lembaga pendidikan saat ini telah begitu meningkat tanpa sebuah awalan yang mampu mempertahankan fungsi administratif dalam kondisi yang stabil sehingga dimungkinkan mereka akan tenggelam dalam kompleksitas permasalahan yang harus mereka hadapi. Selain itu, paradigma efisiensi ekonomi yang semakin mendunia dengan semakin tingginya permintaan akan akuntabilitas, dianggap semakin berperan dalam proses perumusan sebuah pendekatan yang akan digunakan dalam membuat sebuah perencanaan.

ULASAN TERHADAP POKOK BAHASAN PADA BAB 1 DAN BAB 2
Perencanaan dalam dunia pendidikan, terutama dalam sebuah lembaga pendidikan, memang sangatlah penting. Sebab perencanaan tersebut kedepannya akan berperan vital sebagai petunjuk dalam gerak langkah lembaga tersebut. Namun demikian, model perencanaan dalam sebuah lembaga pendidikan tentunya akan sangat berbeda dengan perencanaan dalam sebuah perusahaan, sebagaimana yang seharusnya dipaparkan dalam buku yang berjudul ‘Systematic Planning for Educational Change’ ini. Tetapi, apa yang ditemukan oleh pengulas dalam bab 1 dan 2 yang menjadi bab pengantar dalam buku ini, sungguh teramat berbeda dengan apa yang dibayangkan oleh pengulas terutama pada saat membaca judul buku ini. Semisal pada bagian pendahuluan pada bab 1, WG Cunningham, penulis buku ini, menyandarkan teori perencanaan yang diusungnya pada teori manajemen yang dikemukakan oleh Henri Fayol, sementara yang disampaikan oleh Henri Fayol tersebut adalah teori manajemen perusahaan yang sudah tentu karakteristiknya sangat berbeda dengan lembaga pendidikan. Perusahaan yang notabene berorientasi profit, tentu saja ‘memproses’ benda mati, baik berupa barang maupun jasa. Di lain pihak, lembaga pendidikan, atau dapat disebut sebagai sekolah, ‘memproses’ manusia dengan segala sifat-sifat kemanusiaannya. Ketika proses perencanaan dalam sekolah sebagai lembaga pendidikan disamakan dengan proses perencanaan dalam sebuah perusahaan, maka manusia-manusia yang berproses dalam lembaga pendidikan tersebut telah direifikasi (dibendakan), didehumanisasi, atau bahasa sederhananya adalah tidak dimanusiakan. Dari teori-teori perencanaan yang dikutip oleh penulis buku ini, berikut pendapat-pendapat yang disampaikan olehnya, terutama pada bab yang menjadi awalan dalam buku ini, yaitu pada bab 1, sangatlah jelas bila WG Cunningham telah melakukan generalisasi terhadap kondisi organisasi yang berbentuk lembaga pendidikan dengan bentuk organisasi pada perusahaan.
Teori-teori perencanaan yang disampaikan oleh WG Cunningham pada bab yang berikutnya, yaitu pada bab 2, semakin memperlihatkan ideologi penulis buku ini yang berkiblat pada aliran neoliberal. Terlebih lagi, buku ini ditulis olehnya pada awal tahun 1980an, suatu periode dimana semangat neoliberalisme tengah berkobar-kobar tepat setelah keruntuhan liberalisme di dunia barat. Semangat neoliberal ini begitu jelas merasuki WG Cunningham dengan orientasi teori perencanaannya yang sangat mengedepankan efektifitas dan mengesampingkan personalitas. Penulis buku ini berpendapat bahwa model perencanaan top-down akan jauh lebih efektif dan praktis ketimbang model perencanaan bottom up. Alasan yang diungkap olehnya secara eksplisit memaparkan bahwa model perencanaan top down akan mengikis gesekan-gesekan individu yang terlibat dalam proses perencanaan tersebut. Dan agar hasil perencanaan yang dibuat oleh para penentu kebijakan di level atas dapat dilaksanakan oleh para pelaku organisasi di level bawah dengan baik tanpa adanya protes, WG Cunningham menempatkan komunikasi sebagai kunci utama untuk menekan para ‘bawahan’. Caranya adalah dengan melibatkan sejumlah ‘bawahan’ yang tentunya dianggap dapat mewakili, dalam pembicaraan-pembicaraan mengenai proses perencanaan. Para ‘bawahan’ harus diperlakukan ‘seolah-olah’ dilibatkan dalam proses perencanaan, walaupun pada akhirnya, penentuan keputusan tetap berada pada kelompok ‘atasan’. Padahal gesekan-gesekan individu penyebab konflik yang terjadi dalam sebuah organisasi adalah sebuah proses yang manusiawi dalam pendewasaan diri individu maupun organisasi tersebut. Sehingga bila proses ‘pendewasaan’ tersebut dimatikan semata-mata hanya karena alasan efisiensi waktu dan efektifitas hasil, maka sifat-sifat manusiawi tersebut tidak akan pernah berkembang dengan sebagaimana mestinya.
Semangat neoliberal yang diusung oleh WG Cunningham menjadi semakin jelas saat penulis buku ini menempatkan ‘sumber daya finansial’ atau lebih tepatnya dapat disebut dengan modal, pada peringkat teratas mengenai hal-hal pokok yang harus diutamakan dalam proses perencanaan. Pada bab 2 dalam buku ini dapat ditemukan pendapat WG Cunningham berikut contoh kasus yang sedemikian lengkapnya mengenai ketidak berhasilan perencanaan dalam sebuah lembaga pendidikan yang penyebabnya semata-mata ditumpukan pada permasalahan finansial. Bagi penulis buku ini, masalah finansial sangatlah utama. Sehingga bila perencanaan yang dibuat oleh lembaga pendidikan tidak disesuaikan dengan kondisi finansial yang ada, maka berbagai implikasi negatif yang ditimbulkan harus ditanggung oleh pihak lembaga pendidikan itu sendiri. Menurutnya, perencanaan yang dibuat harus disesuaikan dengan dana yang tersedia, dan jangan pernah mengimplementasikan rencana yang sumber dananya belum jelas akan didapatkan dari mana. Apa yang disampaikan oleh penulis buku ini terkesan begitu ingin ‘cari aman’ dan menghindari resiko, lagi-lagi demi alasan efisiensi waktu dan efektifitas hasil tentunya.
Perencanaan dalam sebuah lembaga pendidikan, tentunya tidak boleh melenceng dari tujuan pendidikan itu sendiri, yaitu pendidikan untuk pendidikan, sebagaimana diungkapkan oleh John Dewey. Dan agar sebuah perencanaan dalam lembaga pendidikan tersebut tidak melenceng dari tujuan pendidikan itu sendiri, harus digunakan sebuah model perencanaan yang lebih ‘manusiawi’. Sudah tentu model perencanaan top down dengan semangat neoliberal yang ditawarkan oleh WG Cunningham tidaklah dapat mengakomodasi ‘kemanusiawian’ tersebut. Model perencanaan partisipatif dalam lembaga pendidikan, yang sering dikemukakan oleh Paulo Freire, dan model perencanaan deliberatif yang dicetuskan oleh Jurgen Habermas, adalah model-model perencanaan yang paling tepat dalam dunia pendidikan. Inti dari kedua model tersebut adalah pemanusiaan individu yang berada dalam sebuah komunitas melalui perluasan partisipasi dalam proses penentuan kebijakan, dalam hal ini yang berkaitan dengan proses perencanaan dalam dunia pendidikan.

BAHAN BACAAN:
Dunn, William N. 2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Gajahmada University Press: Yogyakarta.
Hajeer, Maarten., dan Wageenar, Hendrik. Deliberative Policy Analysis: Understanding Governance in the Network Society. Cambridge University Press: UK.
Murtiningsih, Siti. 2006. Pendidikan Alat Perlawanan: Teori Pendidikan Radikal Paulo Freire. Resist Press: Yogyakarta.
Tilaar, HAR. 2004. Standarisasi Nasional Pendidikan: Suatu Tinjauan Kritis. Bandung: Rineka Cipta.
Topatimasang, Roem., Fakih, Mansour., dan Rahardjo, Toto. 2007. Mengubah Kebijakan Publik. Yogyakarta: Insist Press.
[assignment in pair]

3 komentar:

  1. Numang Ngopy nich, makasih ya, Artikel ini sangat membantu say

    BalasHapus
  2. Thank you, yach td ngopy buat bahan tugas kuliah.

    BalasHapus
  3. makasih. Numpang ngopy bahan tugas nich.

    BalasHapus